Kenalkan nama saya "Aidit", usia saat ini 38 tahun
dengan tinggi badan 165 cm, berat badan 60 kg, warna kulit agak kemerahan. Saya
bekerja sebagai pengelola jasa dengan fasilitas komputer. Saya kenal internet
sejak 4 Bulan yang lalu. Sejak itu saya rajin membaca majalah hiburan dan
bertanya pada teman-teman tentang internet. Bahkan setiap saya nonton televisi
selalu memperhatikan iklan yang ada URL-nya, karena dari situlah saya mulai
mencoba membuka internet dengan modal URL itu.
Ketika ketemu dengan 17Tahun.com lewat teman, ternyata
memang sangat menarik buat saya, karena banyak kisah pornografi yang dapat
ditemukan di dalamnya, yang tentu saja dapat menambah pengetahuan dan gairah
saya selaku laki-laki normal yang sudah punya tempat praktek (istri).
Karenanya, tidak heran jika hampir setiap malam saya menghabiskan waktu pada
situs ini. Bahkan sempat ikut mengirim cerita, meskipun beberapa kali ditolak
oleh 17Tahun.com dengan alasan tidak mengikuti tatabahasa yang baku.
*****
Peristiwanya terjadi ketika saya masih duduk di SMA. Ketika
itu, saya dan Sari (bukan nama aslinya) merupakan teman seperjalanan setiap
kami berangkat ke sekolah, karena waktu itu kampung tempat tinggal kami dengan
tempat sekolah kami jaraknya kurang lebih 4 km, dan belum terjangkau oleh
kendaraan (mobil) disebabkan jalanannya berlubang-lubang dan jembatannya belum
terpasang. Karenanya setiap berangkat ke sekolah, kami selalu jalan kaki pulang
pergi bersama Sari, meskipun sekolah kami berbeda, tapi gedungnya cukup berdekatan.
Seperti hari-hari sebelumnya, saya dan Sari selalu cepat
bangun untuk bersiap-siap ke sekolah (rata-rata jam 5. 30 pagi) agar kami tidak
terlambat. Suatu ketika kami janjian untuk lebih cepat berangkat ke sekolah,
sebab kebetulan hari pasar ramai. Kami telah sepakat membeli buku, polpen dan
buah-buahan di pasar, sehingga pagi itu kami lebih cepat bersiap-siap berangkat
dari biasanya.
Kebetulan sekali kami bertemu di Sumur yang berada di tengah
sawah, letaknya kurang lebih 1/2 km dari rumah penduduk. Pertemuan saya dengan
Sari di sumur itu memang hampir setiap hari, tapi baru kali ini kami hanya
berdua, di mana pada hari-hari sebelumnya selalu ramai dikunjungi oleh warga,
sebab sumur tersebut termasuk bersih airnya, luas dan tidak pernah kering walau
musim kemarau.
Mungkin inilah yang dimaksud orang bahwa pelanggaran atau
kejahatan itu bisa terjadi secara tiba-tiba karena ada peluang. Inilah yang
menimpa kami saat itu. Pada awalnya, sebagaimana pada pertemuan-pertemuan kami
sebelumnya, kami bersikap biasa-biasa saja sebagaimana layaknya teman biasa.
Karena pertemuan kami sudah dianggap biasa, maka tidak aneh jika si Sari
langsung buka baju dekat sumur untuk cepat-cepat mandi, tapi ia tetap menutupi
tubuhnya hingga di bawa ketiaknya dengan sarung mandi.
Waktu itu saya duduk di puncak bukitan kecil yang jaraknya
kurang lebih 5 m dari tempat si Sari mandi. Ia tidak pernah merasa malu apalagi
takut pada saya, karena saya sudah dianggap sahabat dan keluarga sekampung.
Namun, entah setan dari mana yang mengetuk hati saya, tiba-tiba dibenak saya
muncul pikiran untuk mencoba menoleh ke arah Sari yang sedang mandi, yang tidak
biasa saya lakukan. Muncul keinginan baru di hati saya untuk memperhatikan
bentuk bodi si Sari, tapi sayang separuh tubunya tertutub dengan kain sarung
mandi, apalagi cuaca masih remang-remang (kurang jelas).
"Sudah selesai Sari,? giliran saya lagi yah,?".
Tanya saya sambil mendekati sumur itu.
"Yeah, baru selesai", jawabnya.
Bersamaan dengan jawabannya itu, ia langsung memutar badannya
ke arah saya. Ia langsung kaget seolah mau berteriak sambil menahan nafas. Ia
tidak menyangka jika saya sudah ada di pinggir sumur, yang kebetulan tempatku
berdiri lebih tinggi dari tempat Sari mandi.
"Mmmaaf", serentak kami ucapkan maaf dengan suara
yang tak teratur.
"Maaf, Saya tidak tahu jika kamu belum selesai",
kata saya.
"Maaf juga, sebab saya tidak tahu jika kau sudah
mendekat", katanya seolah-olah merasa bersalah pada saya karena waktu
memutar badannya ke arah saya ia dalam keadaan terbuka sarung mandinya untuk
mengganti sarung yang sudah disiapkan di dekatnya.
Untuk itu, sempat saya menyaksikan pemandangan yang sungguh
indah dan menggetarkan hati saya. Saya belum pernah menyaksikan keindahan
seperti itu sebelumnya pada gadis lain.
Walaupun hanya sekilas, tapi pemandangan tadi itu cukup
mengganggu konsentrasi saya, sehingga terbawa-bawa sampai tiba di rumah. Sejak
pemandangan yang saya saksikan di-sumur tersebut, saya selalu berfikiran
aneh-aneh pada si Sari, yang selama ini tidak pernah terpikirkan. Karena itu,
hubungan persahabatan saya semakin dekat dan akrab, bahkan saya selalu berusaha
untuk meningkatkan hubungan itu menjadi hubungan pacar/cinta. Ternyata impian
saya itu jadi kenyataan ketika beberapa hari setelah kejadian itu, saya
menawarkan belajar bersama di rumahnya dalam bidang studi matematika, ternyata
ia setuju.
Saya masih ingat, waktu itu malam Minggu tepat pada jam 7.
30 malam, saya sudah berada di rumahnya. Kami sempat makan malam bersama di
rumahnya bersama dengan kedua orangtua dan seorang adiknya. Kebetulan Sari
tinggal bersama kedua orangtuanya dengan seorang adiknya yang masih duduk di
bangku Sekolah Dasar. Sedangkan Sari sendiri sudah duduk di bangku sekolah
sederajat SMA. Berhubung karena bapaknya telah merantau selama puluhan tahun,
sehingga ia sangat terlambat dikaruniai adik.
Setelah kami makan bersama, kami mulai belajar bersama-sama
di ruang tamu sari. Sedang Bapak Sari, pergi ke rumah tetangganya
ngobrol-ngobrol mungkin soal pertanian, sementara Mama dan adiknya ke tempat
tidur, mungkin kecapean habis kerja keras di sawah. Pada awalnya belajar
bersama kami berjalan lancar tanpa ada gangguan sedikitpun. Kami berdiskusi
sambil tukar pengalaman masalah pelajaran di sekolah kami masing-masing.
Setelah jarum jam menunjukkan pukul 10. 00 malam, cara duduk
saya masih tetap normal di tempat semula, tapi Sari nampaknya mulai agak
kecapean, sehingga ia sedikit merebahkan kepalanya ke sandaran kursi kayu
tempat duduknya. Tiba-tiba saya teringat pada keindahan tubuh Sari yang telah
saya saksikan di sumur, akhirnya mulai konsentrasi saya terganggu lagi. Mungkin
akibat cara duduk Sari yang sedikit menjulurkan kedua kakinya di bawah meja,
sehingga sempat bersentuhan dengan kaki saya. Saya mencoba berpura-pura
jatuhkan polpen di bawah meja, lalu saya membungkuk di bawah meja tersebut
untuk meraih polpen saya yang jatuh itu.
Keadaan konsentrasi belajar saya semakin tidak karuan
setelah saya melihat paha Sari saat saya meraih polpen, yang kebetulan jatuh
dekat kaki Sari. Bahkan walaupun dag, dug pada jantung saya saat itu, tapi saya
tetap memberanikan diri menyentuh dan mengangkat sedikit paha Sari yang
tergolong putih mulus di depan mata saya itu dengan alasan meraih pulpen yang
ada di bawah kedua kakinya. Bukan main kagetnya waktu itu, ia tiba-tiba
tersentak keras ketika merasakan pahanya bersentuhan dengan tangan saya.
Mungkin ia kurang biasa tersentuh dengan kulit laki-laki.
"Maaf, saya tidak sengaja Sari", demikian ucapan
saya dengan perasaan takut kalau-kalau ia marah pada saya.
"Tidak apa-apa, kan tidak disengaja, cuma saya sedikit
kaget, saya kira apa", Katanya sambil tersenyum pada saya.
Karena sikapnya yang tidak marah itu, apalagi sedikit
tersenyum pada saya, maka saya tentunya sangat bahagia dan bangga, karena memperoleh
hasil yang sedikit memuaskan. Yeah, ada motivasi untuk mengembangkan.
Setelah jarum jam menunjukkan pukul 11. 15 m malam itu, saya
coba memancing untuk pulang kerumah saya dengan alasan ia sudah mulai ngantuk.
Tapi tiba-tiba"Jangan dulu pulang Aidit, ini masih
pagi. Buktinya Bapak saya belum selesai ngobrol di rumah tetangga, apalagi
besok kan hari raya, kita tidak perlu cepat-cepat bangun untuk ke
sekolah".
Perkataan Sari dengan penuh harap agar saya masih mau tetap
menemaninya belajar. Demikian besarnya harapannya untuk ditemani belajar,
sampai-sampai ia dengan berani menarik tangan saya dan menyuruh saya duduk
kembali di tempatku.
Padahal dalam hati kecil saya, ingin rasanya berlama-lama
bersama Sari. Saya hanya ingin menguji kesetiaan dia terhadap saya setelah saya
tadi dengan lancang memegang pahanya. Karena sikapnya mencegah saya pulang
kerumah lebih cepat, maka secara otomatis saya bisa meyakini kalau dia juga
senang dan penuh perhatian pada saya. Entah apakah di hatinya juga ada perasaan
aneh seperti yang saya rasakan atau tidak, tapi yang jelas malam itu saya
semakin penasaran untuk bertindak lebih jauh padanya.
Dalam benak saya, suatu kerugian besar jika saya hanya
duduk-duduk bersama dia tanpa ada peningkatan reaksi, sebab konsentrasi belajar
saya juga sudah tidak terarah dan kesempatan seperti ini juga sulit didapatkan,
ditambah dengan munculnya dorongan birahi terhadap dia. Akhirnya walau pelan
sekali dan penuh keragu-raguan serta jantung berdebar-debar, saya mencoba
sedikit demi sedikit menyentuhkan ujung kaki kanan saya pada salah satu ujung
kakinya, namun ia hanya diam dan tidak berkomentar sedikitpun. Malah sempat
memandangi wajah saya ketika saya mencoba merapatkan kedua betis saya pada
kedua betisnya yang tidak tertutup, tapi hanya sejenak. Setelah itu ia kembali
membuka-buka bukunya.
Sambil berpura-pura buka-buka buku di depan saya, saya
mencoba meningkatkan reaksi dengan menjulurkan kedua kaki saya lebih ke depan
lagi sambil mengangkat sedikit tempat duduk saya ke depan, sehingga lutut saya
sempat menyentuh paha Sari yang masih terbungkus sarung. Kali ini ia kembali
memandang wajah saya, sehingga sayapun menyambut dengan tatapan yang sama.
Cukup lama kami saling menatap tanpa kata-kata dan tanpa gerakan yang berarti.
Tiba-tiba"tok, tok, tok", pintu berbunyi pertanda ada orang yang mau
masuk ke rumah. Spontan kami tersentak dan langsung menghentikan kegiatan kami
itu.
Setelah Sari berlari membuka pintu, ternyata Bapaknya sudah
kembali ke rumah.
"Masih pada belajar?", tanya Bapaknya.
"Yah pak", jawaban kami secara serentak.
"Besok kan Sari tidak sekolah pak, jadi kesempatan saya
diskusi dengan Aidit, yang lebih luas pengetahuannya dari saya", kata Sari
merayu bapaknya agar kami diizinkan tetap melanjutkan belajar bersama.
"Terserah kamu deh, yang penting jangan terlalu besar
suaramu belajar, sebab saya mau tidur nih", ucapan bapaknya mengizinkan
untuk tetap melanjutkan kegiatan kami.
Alangkah gembiranya perasaan saya mendengar ucapan Bapak
Sari yang cukup bijaksana dan penuh pengertian itu. Ingin rasanya saya memijat
badannya yang letih itu sebagai tanda terimah kasih saya padanya agar ia dapat
lebih cepat dan lebih pulas tidurnya, biar kami lebih leluasa melanjutkan
kegiatan kami tadi. Waktu terus berjalan tanpa terasa dan kini jarum jam
menunjukkan pukul 12. 00 malam. Bapak Sari kedengaran berdengkur sebagai tanda
tidurnya sangat nyenyak, sementara Ibu dan adik Sari yang kamarnya terletak
jauh di belakan dekat dapur, yang tidak diragukan lagi akan terganggu tidurnya
sejak tadi.
Kami berdua nampaknya semakin semangat dan bergairah
melanjutkan kegiatan kami tadi. Kini saya tidak canggung lagi setelah dua kali
saya coba menyentuh Sari tapi tidak ada reaksi yang negatif terhadap saya.
Begitu pula Sari kelihatannya sudah tidak terlalu minder dan malu lagi
disentuh. Mungkin ia sudah mengerti arah aksi saya tadi dan ia menyenanginya,
seperti perasaan saya. Kali ini, kami tidak hanya saling memandang, tapi juga
saling memegang tangan. Kedua tangan saya berada di atas kedua tangan Sari dan
Sari tidak memindahkan tangannya.
Setelah saya yakin bahwa tindakan saya itu disambut baik dan
dinikmati pula oleh Sari, maka saya menarik tangan kanan saya, lalu mengalihkan
ke bawah meja, lalu terus memegang paha Sari. Ia tidak menolak, lalu saya coba
masukkan tangan saya di bawah sarung yang menutupi pahanya dan langsung
menggerayangi pahanya yang mulus itu. Bahkan saya coba masukkan tangan saya
dalam celana Sari, tapi agak sulit karena celana yang dikenakannya malam itu
agak sempit dan tebal, sehingga terpaksa saya hanya menggerak-gerakkan tangan
dekat pangkal pahanya. Tindakan saya ini berlangsung sekitar 10 menit.
Walaupun Sari hanya terdiam dan tidak banyak goyang saat
saya elus-elus pahanya, tapi tampak dari nafasnya yang terengah-engah dan sikap
diamnya, ternyata ia juga cukup menikmatinya. Karena birahi saya semakin sulit
lagi terbendung, sementara Sari masih tetap diam tanpa berperan sedikit pun,
maka saya mulai mencoba menarik celanaya yang sempit dan tebal itu ke bawah,
tapi masih tidak bergeser sedikitpun. Mungkin kancingnya atau ikatannya terlalu
kuat. Saya mencoba meraba dan melepas kancingnya, meskipun sangat sulit dan
berkali-kali saya coba, tapi akhirnya terlepas juga.
Setelah saya tarik ke bawah dan membuka melalui lututnya
maka saya renggangkan sedikit kedua pahanya agar saya lebih mudah meraba alat
vital yang terletak di antara kedua pahanya tersebut. Pada saat meraba-raba dan
memainkan kelentit dalam vaginanya, Sari masih tetap diam sambil meletakkan
wajahnya di atas meja seolah memasrahkan diri terhadap tindakan saya tersebut.
Saya semakin yakin, bahwa selain saya pasti Sari juga terangsang dan sangat
menikmati permainan saya ini walaupun ia malu mengatakannya. Apalagi saya yakin
jika baru kali ini ia diperlakukan dan diberi kenikmatan seperti itu,
sebagaimana juga saya baru kali ini berani melakukan hal seperti itu pada
seorang gadis.
Akhirnya kebisuan itu, tiba-tiba tersingkap ketika akhirnya
terdengar"Aaah hhmm, ss, hh.".
Cuma itu suara yang tiba-tiba keluar dari mulut Sari ketika
saya memasukkan telunjuk saya dalam kemaluannya, bahkan saya
menggocok-gocoknya, semakin lama gocokan saya semakin cepat. Semakin lama
vagina Sari semakin basah. Karena birahi saya semakin menguasai perasaan saya,
dan demikian pula tentunya bagi Sari, maka secara bersamaan pantat saya dengan
pantat Sari masing-masing kami dorong lebih jauh lagi ke depan, sehingga dagu
kami masing-masing tersangkut di atas meja. Sementara paha kami saling menjepit
satu sama lainnya di dalam sarung si Sari.
Sungguh tindakan ini suatu hal yang menyulitkan dan menyiksa
kami. Kami tentunya masih diselingi rasa takut kalau-kalau ayah atau Ibu Sari
terbangun dan melihat perbuatan kami, kami bisa-bisa diusir atau dipukul dan
dipermalukan. Maklum di masyarakat desa seperti di desa kami, masih dianggap
berpacaran sebagai perbuatan yang tabu dan tidak terpuji, apalagi jika berani
melakukan tindakan seperti yang kami praktekkan itu. Perasaan takut bercampur
birahi itulah yang selalu menyiksa kami.
Akhirnya kekuatan birahi itu tiba-tiba mengalahkan perasaan
takut saya, sehingga tanpa peduli resiko yang mungkin akan menimpa kami dan
tanpa ada rasa khawatir dilihat orang, saya tiba-tiba menarik sarung yang
dipakai Sari hingga lepas, lalu menurunkan sedikit celana saya hingga ke lutut.
Setelah itu saya menarik tangan Sari yang masih pegangan di meja dan membawanya
ke penis saya.
Mula-mula tangan Sari agak gemetar dan pegangannya agak
lemah, tapi setelah saya mencoba masuk di bawah meja sambil membungkuk
(kebetulan tinggi mejanya sekitar 1 meter), lalu mencoba memasukkan tangan
dalam baju kaos yang dikenakan Sari dan meremas-remas susunya, maka terasa
pegangan tangannya pada penis saya semakin keras, bahkan kali ini ia mencoba
menggerak-gerakkannya seiring dengan gerakan remasan tangan saya pada susunya.
Semakin lama semakin keras dan cepat. Sayapun tidak berhenti sampai di situ,
tapi saya juga mengelus-elus puting susunya dengan jari-jari tangan saya,
sehingga sesekali terdengar nafas yang terputus-putus dari Sari.
Setelah saya puas mempermainkan puting susunya dengan tangan
kanan saya dan mengocok-ngocok vaginanya dengan tangan kiri saya, apalagi
terasa ada isyarat dari tangan Sari yang seolah menarik agak keras penis saya
lebih dekat ke arahnya, maka saya melepaskan tangan kiri saya dari vaginanya
sambil maju selangkah hingga pinggang saya persis berada di antara dua pahanya
yang saya rasakan dari jepitan pahanya, lalu kedua tangan saya meremas-remas
susunya yang sedikit kecil tapi keras, bahkan saya menyingkap sedikit baju dan
BH-nya ke atas lalu saya jilati puting susunya yang agak kecil bulat.
Walaupun saya tidak dapat melihat dengan jelas warna isi
vagina dan puting susu Sari saat itu karena lampu minyak yang kami gunakan ada
di atas meja, tapi saya cukup merasakan betapa sempit dan mungil vagina Sari
serta buah dada yang halus, putih dan keras serta putingnya yang kecil bulat.
Hal ini terasa dari sulitnya jari telunjuk saya masuk lebih dalam, bahkan
seolah terjepit ujungnya, padahal vaginanya sudah cukup membasahi pangkal
pahanya yang tidak satupun bulu tumbuh di situ.
Setelah puas meremas, mencium dan menjilat-jilati susunya
maka saya coba maju selangkah lagi, sehingga penis saya yang telah tegang sejak
tadi terasa bersentuhan dengan kulit yang lembut, bahkan terasa menyentuh
tonjolan daging yang lembut setelah saya agak bergeser sedikit. Pada saat yang
bersamaan, Sari pula menggerakkan pinggulnya ke depan sehingga terasa seolah
ujungnya tertancap pada suatu lubang yang membuat ujung penis saya tidak bisa
bergeser lagi, dan sayapun rasanya tidak ingin menggerakkannya setelah
mengetahui bahwa sudah tepat pada sasaran pokoknya.
"Aduuh, enaknya Dit, jangan dilepas dulu yeah.",
Itulah suara bisikan yang saya dengan dari mulut Sari dari atas meja pada saat
saya sedikit mendorong penis saya ke depan.
Ia pun nampaknya sangat penasaran menanti masuknya penis
saya lebih dalam, sehingga dengan sangat lincahnya tiba-tiba meninggalkan
tempat duduknya dan turun juga di bawah meja sambil memeluk keras punggung
saya. Karena dorongan birahinya yang menjadi-jadi, maka Sari tiba-tiba
mendorong saya dan melepaskan pelukannya, lalu tidur terlentang di atas
selembar papan kecil yang melintang sebagai penyanggah keempat kaki meja itu,
sambil menarik bajunya hingga ke lehir dan mengeluarkan kedua payudaranya dari
BH yang dikenakannya
Melihat sikapnya yang demikian itu, maka saya cukup mengerti
apa yang dikehendakinya. Nampaknya ia semakin tidak sabar lagi, sehingga ia
langsung menarik tangan saya lebih dekat sebagai isyarat bahwa ia telah siap
diserang memeknya setelah dari tadi basah dan menanti. Tentu saja tanpa
berpikir panjang, saya langsung mengangkanginya dengan berlutut, sebab saya
tidak melepaskan penuh celana saya, melainkan hanya sampai di pergelangan kaki,
yeah, kalau ada apa-apa, kan bisa cepat dipasang dan lari. Untung malam itu
kami tidak pernah kepergok oleh siapa-siapa hingga tuntasnya permainan.
"Hemm, aahh, hemm, aah, eenak sekali Dit", hanya
itu suara yang mampu keluar dari mulut Sari secara berulang-ulang ketika saya secara
pelan tapi pasti masukkan sedikit demi sedikit penis saya ke memek Sari.
Mulanya memang sulit dan nampaknya agak terasa sakit bagi
Sari, tapi setelah saya coba berkali-kali tanpa terlalu memaksakan masuknya,
akhirnya amBLas juga dan nampaknya bukan hanya menikmatinya, tapi Saripun
kelihatannya dapat merasakan kenikmatan malam itu yang tiada taranya. Terbukti
dengan semakin cepatnya gerakan pinggulnya ke atas dan ke bawah, ke kiri dan ke
kanan mengikuti gerakan pinggul saya yang menggenjot vaginanya semakin lama
semakin cepat serta semakin dalam
Hingga pada akhirnya, saya merasakan sekujur tubuh Sari agak
mengejang dan gerakannya semakin dipercepat dan pelukannya terhadap saya
semakin dipererat, bahkan sempat menggigit kecil bibir saya. Tanpa saya ketahui
tanda-tanda itu, sayapun menyambut dengan gerakan yang sama dan juga menggigit
balik bibirnya tapi tidak sampai melukainya, hingga pada akhirnya saya bagaikan
lupa daratan, ternyata saya mengeluarkan sperma (muncrat) pada saat yang
bersamaan di dalam vagi Sari. Karena merasa sudah meraih keuntungan belajar
bersama malam itu dan tiba-tiba kembali rasa takut ketahuan, maka kami bergegas
keluar dari dalam meja, lalu memperbaiki posisi kami seperti semula. Kami hanya
mampu saling melempar senyum tanpa bisa berkata-kata, sebab kami sulit
membahasakan apa yang telah kami nikmati barusan.
Sejak penis saya masuk dalam vagina Sari, kami hanya bermain
dalam satu posisi karena kami terpokok dalam masalah tempat yang pas-pas dan
suasana yang kurang aman Tapi walaupun satu gaya, kami cukup berhasil dan puas
memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan pada suasana tempat yang sangat perlu
kehati-hatian melakukannya. Bahkan rasanya papan tempat Sari terlentang, cukup
membantu permainan kami, sebab kedua paha Sari dapat terbuka lebar dengan
mudah, lubang vaginanya dapat lebih menganga sedikit, bahkan membuat Sari lebih
aktif bereaksi, sehingga kami dapat menyelesaikan permainan itu pada waktu
jarum jam menunjukkan pukul 1. 00 malam tanpa terasa dan tanpa resiko, kecuali
kenikmatan yang luar biasa yang dapat kami raih secara bersama-sama.
Itulah buahnya belajar bersama dengan seorang gadis di
tempat yang sepi pada kesunyian malam. Pikiran itulah yang mewarnai perasaanku
malam itu sebelum saya mohon diri dari rumah Sari untuk kembali ke rumah saya.
Setelah sampai di rumah, saya langsung berbaring tapi tidak mudah tertidur,
karena selalu dibayang-bayangi oleh suatu kenikmatan yang belum pernah saya
alami seumur hidupku pada gadis yang menurut pengakuan Sari setelah sesaat selesainya
permainan tadi, juga belum pernah mengalaminya. Karena itu, akan menjadi
kenangan manis bagi kami selama hayat dikandung badan. Hingga akhirnya sayapun
tertidur pulas sampai jam 9. 00 pagi.
Setelah ketemu kembali Sari di sumur pada waktu ia mencuci
pakaiannya, ia sedikit berbisik pada saya bahwa ia mendapati sebercak darah
pada papan penyangga meja yang kami pakai tadi malam. Tapi saya hanya
tersenyum, sambil berkata dalam hati bahwa ternyata sayalah yang paling
beruntung di dunia ini menggauli gadis perawan tanpa banyak hambatan.
Mungkinkah saya bisa meraih kenikmatan seperti itu kembali selama hidupku?
Hanya nasiblah yang dapat menjawabnya. Moga-moga saja.
*****
0 komentar:
Posting Komentar